Friday, October 01, 2010

Banda Aceh Tempo Doeloe (1)

Pernah Cetak Uang & Sepeda Menunjukkan Status

Oleh: Hasyim KS

Lenyapnya bekas-bekas sebuah kerajaan yang megah dari berbagai runtun para Sultan dan Sultanah di Aceh, menurut perkiraan beberapa pengamat sejarah adalah karena Aceh beda dengan kerajaan-kerajaan terkenal lainnya di Nusantara dalam bangun membangun sarana. Ternyata Aceh didominasi oleh budaya kayu sehingga tidak awet untuk ditemukan di zaman sekarang ini. Kecuali beberapa monumen seperti Gunongan salah satu peninggalan Sultan Iskandar Muda berikut sebuah gerbang kecil sebagai pintu belakang istana yang disebut Pinto Khob, khusus untuk para kerabat kerajaan untuk bersiram (manoe meu- upa) di Sungai Krueng Daroy. Plus beberapa situs sebagai makam- makam tua para penguasa dan keluarga kesultanan, awet karena terbuat dari bahan baku batu.

Gedung-gedung Tua

Kalau pun di usia 795 sekarang ini di Banda Aceh terdapat beberapa bangunan-bangunan tua yang telah antik, adalah bangunan-bangunan yang berusia antara 70 sampai 100 tahun, rata-rata dibangun dalam masa kerajaan Aceh telah tiada setelah tahun 1874 M. Kecuali bangunan Masjid Teungku Anjong yang telah beberapa kali direnovasi yang berusia sekitar 300 tahun.

Bangunan-bangunan yang sedikit yang berada di Banda Aceh tersebut adalah Masjid Tgk. Anjong: Bangunan yang telah berusia lebih kurang 300 tahun ini terletak di Peulanggahan. Menurut buku "Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia" oleh Abdul Baqir Zein, masjid ini dibangun oleh seorang ulama di zaman Sultanan Alaidin Mahmud Syah di abad 18. Ulama karismatik tersebut bernama Syeh Abubakar berasal dari Hadratulmaut (Arab). Kebiasaan dalam masyarakat Aceh, seseorang yang menjadi tokoh, maka masyarakat memberian nama sebagai panggilan akrab, maka Syeh Abubakar diberi nama panggilan akrab Teungku Anjong. Untuk ukuran sekarang bangunan tersebut betul-betul antik dan tercantum dalam sederetan koleksi masjid-masjid tua di Indonesia.

Masjid Raya Baiturrahman

Masjid ini dibangun oleh pemerintah Belanda tahun 1879 dan siap pakai 1881. Ketika itu petingginya adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K. Van der Heijden yang merasa harus mengganti Masjid Raya yang terbakar habis ketika penyerbuan Kumpeni Belanda tahun 1874. Ketika penyerbuan itu Masjid Raya terbuat dari bahan kayu, beratap ijuk.

Beberapa catatan mengatakan banyak jatuh korban dikedua belah pihak untuk merebut Masjid Raya yang dijadikan basis lasykar Aceh. Pasukan Belanda berhasil menghancurkan masjid setelah menembakan meriam berpeluru api. Beberapa jam setelah masjid yang telah jadi arang itu diduki, komandan tertinggi Belanda, Jenderal Kohler yang sedang berada di halaman masjid, tewas ditembak oleh sniper Aceh yang konon membidik sang jenderal dari belukar-belukar, kira-kira di sekitar bekas gedung PMABS sekarang.

Untuk mengembalikan kepercayaan orang Aceh, maka lima tahun kemudian dibangun penggantinya, sebuah masjid konstruksi beton dengan kubah tunggal. Bangunan asli tersebut sekarang ini berada di tengah-tengah, yang ada jam kuno. Masjid Raya Baiturrahman setelah beberapa kali perluasannya setelah kemerdekaan Indonesia, telah memiliki 7 kubah dan 4 menara azan seperti sekarang ini. Sementara di halamannya yang dulu adalah jalanraya, berdiri sebuah menara setinggi 45 meter, yang disebut sebagai Menara Perjuangan dan adalah bangunan tertinggi di Banda Aceh.

Pendopo Gubernuran

Setelah Aceh diduki oleh pasukan kumpeni Belanda tahun 1874, setelah membenah negeri yang kemudian disebut masyarakat Aceh sebagai Kutaraja (Jangan salah. Belanda lebih suka menyebutnya "Kota Raja" yang jauh menyimpang dari makna Kutaraja sebenarnya. Ini barangkali yang berbau kolonial yang perlu dikembalikan kepada makna Kutaraja yang sebenarnya-Pen).

Tahun 1881 sebuah bangunan yang ketika itu disebut istana, siap dibangun di atas bekas bangunan istana Sultan Aceh yang disebut Dalam. Di atas pertapakan bangunan Dalam itu dibangun sebuah rumah dinas resmi bergengsi yang setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 disebut Pendopo Gubernuran dan sekarang ini disebut Meuligoe (Mahligai), tempat resmi siapapun yang menjabat Gubernur Aceh.

Bangunan ini bahan bakunya melulu dari kayu yang dipesan khusus dari Kalimantan (kayu besi). Petinggi Belanda pertama yang menghuni tahun 1881 adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K. Van der Heijden yang oleh orang Aceh disebut "Jenderal Bermata Sebelah" karena ketika memimpin pertempuran di Samalanga, sebelah matanya cedera ditembus peluru lasykar Aceh.

Dari berbagai sumber dikatakan semenjak siap huni tahun 1881 ada 22 petinggi Belanda yang menempati bangunan tersebut. Dan dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945), hanya satu petinggi Dai Nippon sempat menempati "istana" tersebut yaitu Jenderal Mayor Syozaburo Iino.

Sentral Telepon

Bangunan bulat seperti mercusuar berlantai dua ini dibangun semasa masih berkecamuknya perang Aceh. Bangunan separoh beton yang cukup tebal dibagian bawah sebagai perisai kalau ada penyerbuan lasykar Aceh dan diatasnya bahan dari kayu yang tahan cuaca, terletak di persimpangan Jln. T. Umar dengan jalan ke arah Neusu dan Meuligoe, tidak jauh dari Simpang Jam. Tepatnya dekat bekas galon minyak Saleh Rahmani.

Inilah gedung pelayanan telepon satu-satunya yang beroperasi semenjak tahun 1903 milik Kumpeni Militer Belanda khusus untuk untuk keperluan perang Aceh. Sedangkan kantor pelayanan telepon untuk umum, dibangun tahun 1931 di lokasi Kantor Telepon sekarang dengan gedung dan peralatan moderen. Sayangnya gedung yang aslinya bukan diawetkan tapi dirubuhkan tanpa meninggalkan bekas sebagai bukti sejarah perteleponan di negeri ini.

Bangunan bulat sentral telepon Kumpeni di dekat Simpang Jam, pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, difungsikan juga untuk keperluan perang. Sampai menjelang tahun 1960 setelah Indonesia merdeka, bangunan kuno ini masih dipakai sebagai Kantor Telepon Militer Kodam I/Iskandarmuda yang disebut Wiserbot (WB) Taruna. Sampai tahun 2000 sekarang ini berturut-turut telah dipakai sebagai Kantor KONI, Kantor Surat Kabar Atjeh Post dan terakhir sebagai Kantor PSSI. Banyak yang mengharapkan agar bangunan ini jangan sampai dibongkar pula.

Gereja Katholik

Gereja Katholik Hati Kudus ini diresmikan pemakaiannya tanggal 26 September 1926 oleh Pastor pertama, Pastor Kepala Augustinus Huijbregets. Bangunan terletak di ujung jembatan Pantee Pirak arah Simpang Lima dengan gaya Neo Clasik Modern. Bangunan panjang 30 M, tinggi ruangan dalam 12 M, lebar 14 M, sementara tinggi menara 22 M. Dapat menampung 300 anggota jemaat. Interior gereja ini dengan jendela yang diberi kaca berwarna jenis staned glass dengan lantai keramik warna warni yang disusun dalam bentuk mozaik, sehingga dinilai sebagai gereja yang berlantai indah di Indonesia.

Dari catatan yang ada, baik kaca, lantai keramik maupun lonceng gereja, semuanya di datangkan dari Negeri Belanda. Dalam kompleks gereja ini diperlengkapi bangunan-bangunan untuk pendidikan agama dan sekarang ini memiliki sekolah semenjak TK sampai SMU.

Jauh sebelum tahun 1926, di tempat yang sama telah ada bangunan darurat untuk gereja yang dipimpin oleh seorang Pastor yang didatangkan dari Negeri Belanda. Dalam catatan sejarah keberadaan Kumpeni Belanda di Aceh, Pastor yang bernama Verbrak ini telah mengabdi selama 30 tahun dalam suasana perang Aceh dan ikut sebagai Imam Tentara ke berbagai lokasi medan tempur.

Ketika tulisan ini diturunkan, Gereja Katholik berlambang ayam jantan ini dipimpin oleh Pastor Ferdinando Severi berkebangsaan Italia. Ferdinando adalah petinggi Gereja Katholik Banda Aceh yang ke 17 semenjak Pastor Augustinus Huijbregts tahun 1926 tersebut.

Metro Market

Gedung tua lainnya dan barangkali tidak banyak yang mengetahui riwayatnya yang telah mencapai 100 tahun ini, adalah yang sekarang dijadikan sebagai market mini Metro terletak di ujung Jln Diponegoro. Yang mencemaskan adalah akan nasib gedung ini karena terbetik khabar yang kalangan Balai Kota akan merestui untuk dibongkar dan menggantikan dengan bangunan moderen untuk sebuah super market. Gedung ini bentuknya memang sudah kuno dan ada yang merasa sudah menjadi limbah di tengah bangunan-bangunan moderen tanpa mau tahu akan usianya yang telah 100 tahun dan telah banyak jasanya dalam perkembangan negri ini.

Semasa perang kemedekaan 1945-1949 gedung milik percetakan Belanda ini dialihkan menjadi Percetakan Negara RI sampai tahun 1960-an, sebelum dibangun gedung baru Percetakan Negara RI di sampingnya. Percetakan tersebut dengan peralatan yang kuno jika dibandingkan dengan sekarangi ini telah mencatat sebuah sejarah ketika Pemerintahan Darurat RI antara 1945-1949. Disinilah dicetak uang negara yang bernama ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).

Gedung tua yang sekarang sebagai supermaket mini tersebut, pertama dibangun tahun 1900 berbentuk rumah biasa sebagai cabang percetakan swasta Belanda "Deli Courant" yang berpusat di Medan. Kemudian dikembangkan dengan membangunnya lebih besar lagi seperti yang ada sekarang. Percetakan yang tentunya mempergunakan peralatan kuno diberi nama "Atjeh Drukrij" yang oleh lidah orang Aceh disebut seenaknya sebagai Aceh Dokree. Percetakan ini menerbitakan sebuah surat kabar bernama "Atjeh Newsblad". Karena menyusun leternya satu-satu dengan tangan (handzet) maka koran Belanda ini terbit 1 kali dalam 2 minggu. Ketika pendudukan Jepang (1942-1945) percetakan ini menerbitkan surat kabar bernama "Atjeh Shinbun".

Setelah Jepang angkat kaki, pemuda-pemuda Indonesia ketika itu anatara lain A. Hasjmy, Amelz, Matu Mona, Twk. Hasyim SH, Talsya dll menerbitkan surat kabar "Semangat Merdeka". Di masa pemerintahan darurat itulah dicetak digedung tua ini uang negara sebagai tanda pembayaran yang syah, sebagai membuktikan bahwa negara Indonesia itu memang resmi ada.

Akan tetapi ada beberapa bangunan di Banda Aceh yang berusia di bawah 70 tahun, milik masyarakat, tapi memilik nilai sejarah ketika perang kemerdekaan 1945-1949. Sayang bangunan-bangunan tersebut karena milik pribadi, bukti- bukti sejarah tersebut hanya tinggal dalam catatan-catatan lama. Sedangkan bangunannya telah dibongkar. Misalnya "Hotel Central" terletak di Jln. Mohd. Jam. Di sana sekarang telah berdiri sederetan bangunan Ruko. Di aula hotel kecil milik seorang Tionghoa ini sering para tokoh-tokoh pejuang Aceh mengadakan rapat-rapat untuk mengatur pemerintahan darurat di Aceh. Begitu juga gedung "Sabang Coy", bersebelahan dengan bekas gedung PMABS di ujung Jln. Diponegoro. Tempat ini pernah dijadikan markas para pemuda pejuang perang kemerdekaan untuk mengatur strategi untuk mara ke Foront Medan Area. Sekarang ini telah berdiri di sana sederetan bangunan Ruko.

Kemudian ada sebuah bangunan lain yang kini ternyata tersendat dalam pengembangan dan pemugarannya yaitu "Atjeh Hotel". Walau bangunan ini adalah milik swasta, tapi punya nilai sejarah dalam membangun Republik Indonesia. Hotel bergaya Belanda dengan aula dan bar yang luas seperti kebanyak gaya tempo doeloe pernah dijadikan ruangan terhormat menyambut kedatang Presiden Soekarno tahun 1947. Dari ruangan ini lahir ide kaum saudagar Aceh untuk menghadiahkan sebuah pesawat terbang untuk membantu perjuangan Indonesia mempertahankan Proklamasi 1945. Konon pesawat jenis Dakota buatan Daouglas AS itu adalah cikal bakal armada angkutan udara Indonesia "Garuda" sekarang ini.

Transportasi

Pada masa Belanda dahulu untuk angkutan murah dalam kota dipergunakan kenderaan sado (delman) yang dalam bahasa Aceh disebut kaha. Semenjak masa perang Aceh dahulu kereta kuda ini telah ada. Konon Teuku Umar keluar masuk kota untuk mengunjungi isterinya yang lain dan beberapa kenalannya orang Cina di Peunayong mempergunakan kaha. Karena serdadu Belanda diajarkan tatakrama untuk tidak menyinggung hati orang Aceh terutama jangan menggangu kaum wanita, maka Teuku Umar yang jadi buron Belanda itu sering menyamar memakai busana wanita dan menumpnag kaha/sado ke dan keluar kota. Disetiap pos penjagaan dia bisa lolos, karena para serdadu begitu melihat ada penumpang wanita, mereka cukup hormat dan tidak banyak periksa. Halte sado sampai Indonesia merdeka antara lain di mulut Jalan Perdagangan di sisi Masjid Raya, di Jln. Merduati, di Stasiun Kereta Api (sekarang sudah jadi halaman Masjid Raya) dan di dekat Rumah Sakit Kuta Alam.

Sado Banda Aceh masih difungsikan sampai akhir tahun 1960. Armada sado ternyata mengundurkan diri dari gelanggang ketika muncul kenderaan murah lainnya yaitu beca. Kemunculan beca di Banda Aceh memang langsung beca bermotor seperti sekarang ini. Tidak pernah ada beca dayung.

Akibat tidak ada lagi kenderaan sado yang ditarik oleh kuda ini, warga Banda Aceh tak pernah lagi melihat jenis hewan kuda yang dulu cukup banyak. Kasihan juga yang anak-anak Banda Aceh terutama yang usia muda agak terheran-heran melihat kalau ada sekali-sekali muncul hewan kuda yang datang dari Takengon.

Begitu juga anak-anak-anak Banda Aceh tidak tahu bagaimana sebenarnya kenderaan kerat api itu. Karena si "Kuda Besi" angkutan jarak jauh ini entah setahu bagaimana lenyap dari peredaran. Padahal menurut beberapa pengakuan, pemasukan dari sektor angkutan kereta api di Aceh yang instansinya disebut "Djawatan Kereta Api Atjeh" (DKA) cukup menggiurkan sampai-sampai dapat menutup kerugian beberapa usaha perkeretaapian negara di berbagai daerah di Sumatera.

Begitu juga semenjak tahun 1950 sampai awal 1980 untuk hubungan jarak dekat seperti kenderaan labi-labi sekarang ini, ada juga pelayanan transportasi dengan mobil berbadan lebar yang karoserinya empat persegi seperti kotak sabun dan memiliki tempat duduk dari papan dideretkan melintang semenjak dari bangku sopir sampai ke pintu belakang. Armada ini terdiri dari Perusahaan Motor Lhoknga (PML), Perusahaan Motor Aceh Besar (PMAB), Perusahaan Motor Olele (PMO), Perusahaan Motor Darmajaya dan Ampera.

Stasiun jenis angkutan ini yang disebut pelabuhan berada di tanah kosong di depan Percetakan Negara atau depan leretan Warung Aman Kuba. Sekarang bekas stasiun tersebut telah dijadikan semacam taman kota. Dalam tahun-tahun 1950-an, muncul pula armada bus antara lain ATRA, Nasional, PMTOH dan PMABS. Dua yang terakhir ini melayani pantai Barat sampai ke Bakongan.

Bus-bus jarak jauh menginap di depan bangunannya sendiri. Para penumpang langsung dijemput antar oleh bus ke tujuannya. Baru tahun 1970 muncul sebuah terminal wajib kumpul bus jarak jauh dan wajib turun penumpang di Seutui, lokasi termina sekarang.Pada masa Belanda jalan darat ke pantai Barat jurusan Meulaboh-Tapaktuan, Bakongan sampai Trumon dibuat tahun 1928. Lewat laut sampai tahun 1956 dengan kapal milik perusahan Belanda yang bernama Konijnklike Pakertpart Matschapij (KPM). Untuk kenderaan pribadi, sekitar tahun-tahun 1920-an, warga lebih banyak jalan kaki atau naik sado. Hanya orang-orang tertentu yang mampu beli kereta angin (maksudnya sepeda-Pen) Setelah kemerdekaan semenjak 1950 sampai 1960 di jalan-jalan di Kutaraja berseliweran sepeda dan satu-satu mobil pribadi, semirip suasana lalu lintas di kota-kota negara Cina dan Vietnam yang didominasi oleh yang didominasi oleh sepeda.

Pada masa-masa tersebut terlihatlah status keberadaan seseorang dinilai dari merek sepedanya. Yang paling banyak bermerek Valuas danSeko. Sementara merek Raleigh, Fongers, Gazzele dan Philips dimiliki oleh para toke-toke, dan warga berduit. Lebih-lebih lagi pemilik jenis sepeda bermerek kelas atas tersebut akan bergengsi lagi kalau sepedanya dilengkapi dengan rem tromol yang mengeluarkan bunyi gesekan kalau berhenti. Ditambah lagi sepeda dilengkapi dengan gigi. Maksudnya ada ferseneling yang kalau didayung akan mengeluarkan bunyi tik...tik...tik. Bahkan anak-anak pejabat tertentu, terutama yang ceweknya dibelikan kenderaan yang disebut mobilette.

Ternyata tak lebih semacam sepeda yang diberi bermesin tempel yang dikenal juga dengan sebutan sepeda kumbang. Barangkali inilah lebih kurang beberapa catatan ringan yang kita kumpulkan untuk menyambut usia Banda Aceh yang ke 795 tahun. Kota yang cukup tua tanpa memiliki kebanggaan peninggalan lama seperti Malaka, Bengkulu, Makassar, Sunda Kelapa dll sebagai negeri terkenal di abad-abad lampau yang tidak pernah mencantumkan embel-embel bandar, seperti Banda (Bandar) Aceh kita ini. Bukan main.

Untuk ini, sekali lagi wallahualam bissawab.

3 comments:

Anonymous said...

Hanya berpikir saya akan komentar dan mengatakan tema besar, apakah Anda kode itu untuk diri sendiri? Benar-benar terlihat lebih sempurna!

novrizal said...

Seandaynya ditambahkan foto untuk bangunan yang masih tersisa saat ini atau foto jaman kolonial maka lebih menarik, terima kasih atas informasinya

Anonymous said...

Menarik sekali informasinya, lebih bagus gambarnya juga d tampilkan, thanks info nya