Thursday, November 18, 2021

TANTANGAN PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI YANG OPTIMAL

 https://retizen.republika.co.id/posts/16628/tantangan-pengelolaan-keuangan-haji-yang-optimal

Lomba BPKH Writing Competition

Tema: Pengelolaan Dana Haji BPKH: Untuk Umat dan Ekonomi Syariah

Sub Tema: Optimalisasi Biaya Penyelenggaraan Haji

 

TANTANGAN PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI YANG OPTIMAL

 

Oleh Dandi Bachtiar

 

Ibadah haji wajib ditunaikan oleh umat Islam yang mampu, setidaknya sekali dalam hayatnya. Penduduk muslim Indonesia sangat sadar akan kewajibannya ini. Sehingga Indonesia dengan penduduk muslimnya yang terbesar di dunia selalu memberangkatkan jamaah hajinya dengan kuota terbesar. Kuota haji Indonesia di tahun 2019 tercatat sebesar 214.000 jamaah.

 

Minat masyarakat muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji tidak pernah surut, bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Terbukti dari jumlah pendaftar yang terus melampaui kuota yang dijatah oleh pemerintah Arab Saudi. Artinya setiap jamaah yang akan mendaftar pergi haji tidak serta merta dapat berangkat pada tahun ia melakukan pendaftaran. Daftar tunggu terpaksa diberlakukan.

 

Fenomena ini memberi implikasi yang tidak sederhana. Daftar tunggu yang harus dihadapi oleh jamaah bisa mencapai waktu yang bertahun-tahun. Data tahun 2019 mencatat daftar tunggu sudah mencapai waktu 20 tahun. Dengan adanya kewajiban menyetorkan dana minimum bagi setiap jamaah yang mendaftar, maka muncullah timbunan dana yang sedemikian besar. Dana setoran haji para jamaah tertahan selama bertahun-tahun sampai waktunya jamaah diberangkatkan. Besarnya tidak tanggung-tanggung. Tahun 2021 ini saja Badan Pengelola Keuangan Haji melaporkan dana yang dihimpun sudah mencapai jumlah 150,2 trilyun rupaih. Suatu jumlah yang sangat fantastik.

 

Dana yang begitu besar ini perlu dikelola secara profesional dan penuh tanggung jawab. Sebab ini adalah dana amanah umat Islam Indonesia yang telah menitipkan uangnya untuk pelaksanaan ibadah haji nan suci. Beruntung pemerintah Indonesia cepat tanggap untuk membentuk suatu badan khusus yang bertugas melaksanakan tata kelola dana haji ini, yaitu BPKH Badan Pengelola Keuangan Haji.

 

BPKH terbentuk pada Juni 2017 berdasarkan Keputusan Presiden No. 74/P tahun 2017, yang didasari oleh UU No. 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Pemerintah melakukan langkah strategis untuk menyahuti aspirasi publik yang mengkritisi manajemen sistem haji sebelumnya. Memang pengelolaan haji Indonesia memiliki riwayat yang panjang sebelum terbentuknya BPKH. Namun biarlah itu semua menjadi sejarah. Kini telah terbentuk sistem baru yang diharapkan dalam melaksanaan tugas-tugas pengelolaan dana haji yang ideal sesuai harapan masyarakat banyak.

 

Seiring dengan perjalanan waktu BPKH yang masih muda belia ini mengemban tugas sebagai pengelola dana haji dengan track record yang baik. Laporan pada Juni 2021 menyatakan BPKH mendapat predikat penilaian WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK (Badan Pemerika Keuangan), untuk Laporan Keuangan BPKH tahun 2020. Ini berarti WTP yang ketiga kalinya berturut-turut diperoleh BPKH sejak 2018. Prestasi ini menunjukkan akuntabilitas BPKH yang cukup mumpuni.

 

Harapan masyarakat tentunya lebih tinggi lagi. BPKH sangat dinanti perannya dengan misi dan visi yang benar-benar mengemban amanat dan aspirasi masyarakat muslim Indonesia. Harapan tinggi yang dilaungkan publik itu antara lain  dalam bentuk singkatan BPKH pula, yaitu Bersih, Profesional, Kreatif dan Halal.

 

1. Bersih

 

BPKH diharapkan benar-benar menjalankan tugasnya dengan azas bersih dan amanah. Bersih dari praktik-praktik kotor kong kalikong memanipulasi dana yang mengendap di tangan pengelola. Amanah dalam menjaga titipan dana umat dan sama sekali tidak menyelewengkannya. Tata kelola dilakukan dengan transparan. Transaksi keuangan yang dilakukan juga transparan. Penuh kejujuran dan tiada dusta di antara kita. Unsur ini menjadikan BPKH sebagai yang memiliki kredibilitas yang tinggi.

 

Opini WTP yang diperoleh sejak 2018 sudah memberi indikasi positif akan kinerja BPKH dalam menegakkan aspek Bersih dan Amanah. Hendaknya prestasi ini dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan lagi kualitasnya dengan mengusung azas transparansi di semua sektor pelayanan BPKH. Sertifikasi ISO 37001 yang diperoleh juga membuktikan BPKH yang anti suap.

 

2. Profesional

 

BPKH diminta bekerja secara profesional, kompeten dan mengerti akan tugas-tugas pengelolaan keuangan. Anggota pengelola BPKH dalam bekerja menunjukkan sikap yang bertanggung-jawab, sigap dan kredibel. Mereka paham sekali akan detail pekerjaan yang diembannya. Keprofesionalan pekerja ditunjukkan dengan sertifikasi ketrampilan kerja yang dimiliki oleh setiap karyawan BPKH. Sertifikasi ISO 9100 yang diperoleh patut terus dipertahankan untuk menjaga kualitas manajemen BPKH.

 

3. Kreatif

 

BPKH juga dituntut untuk menunjukkan sikap dan perilaku yang kreatif dan inovatif. Artinya perlu ada terobosan dalam memecahkan kebuntuan masalah yang sewaktu-waktu datang menghadang. Dituntut kreatif dan inovatif dalam meluncurkan program-program baru pengelolaan keuangan, bentuk-bentuk baru pemanfaatan dana umat yang memberikan manfaat  tanpa berisiko tinggi.

 

Investasi dapat dilakukan untuk aktifitas-aktifitas yang berkaitan langsung dengan haji, seperti catering di tanah suci, hotel untuk jamaah Indonesia, transportasi jamaah, dan lain-lain. Level kekreatifan ini sedemikian rupa sehingga tidak menyalahi aturan dan norma islami yang diemban oleh lembaga keuangan Islam.

 

4. Halal

 

Semua jenis pekerjaan dan program yang dilaksanakan oleh BPKH hendaknya terukur kehalalannya. Tiada unsur-unsur gharar atau melanggar etika, norma dan hukum syariat. Kadar kehalalan pekerjaan BPKH perlu ditunjukkan dengan sertifikasi halal dari MUI. Artinya BPKH siap untuk diaudit oleh lembaga MUI dalam sudut pandang kehalalan secara syariat.

 

Keempat unsur di atas yaitu Bersih Profesional Kreatif dan Halal hendaknya benar-benar menjadi ciri khas BPKH dalam menjalankan aktifitasnya. Keempatnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BPKH dan sudah menjadi bagian tubuh dan karakter BPKH di semua level. Baik itu karyawan biasanya maupun para manajer/pemimpin pengelola BPKH.

 

Itulah tantangan terbesar yang diemban oleh lembaga BPKH untuk dapat memenuhi harapan besar publik dalam menjalankan tata kelola keuangan haji yang optimal.***

 

Banda Aceh, 17 November 2021

 

 

 

Thursday, May 24, 2012


POKOK POKOK PIKIRAN PEMBANGUNAN ACEH

Oleh: Dandi Bachtiar

Pemerintahan yang baru di Aceh telah terpilih. Sebuah harapan telah digantungkan kepada pengelola baru ini untuk membawa Aceh ke masa depan yang lebih baik. Janji-janji kampanye dulu  sudah saatnya direalisasikan segera begitu masa bertugas dimulai.

Berikut masukan yang mudah-mudahan berguna kepada pengelola baru dalam menjalankan roda pembangunan di Aceh dalam 5 tahun ke depan ini:

1.   Menciptakan iklim yang sehat kepada dunia usaha, jaminan keamanan berusaha, fasilitas kredit usaha yang mudah, birokrasi yang sederhana untuk perizinan, ...

2.      Menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya untuk masyarakat Aceh dengan cara: membangun industri pertanian yang padat karya, usaha peternakan, perkebunan, perikanan, ...

3.  Membangun infrastruktur dan fasilitas publik yang mendukung percepatan pembangunan, seperti jalan tol, listrik, penyediaan air bersih, sarana komunikasi, transportasi, ...

4.      Membangun pelabuhan ekspor di dua kawasan, timur dan barat, untuk melayani ekspor hasil-hasil produksi rakyat di dua wilayah tersebut. Satu di wilayah Barat bisa di Tapaktuan atau Meulaboh, dan di timur bisa di Lhokseumawe.

5.    Menarik investor asing sebesar-besarnya dengan persyaratan hanya investasi pada bidang-bidang tertentu terutama yang memberi kesempatan kerja luas kepada masyarakat Aceh, dan berorientasi ekspor. Kurangi sebisa mungkin investasi di bidang tambang mineral yang tidak ramah lingkungan.

6.     Perangi korupsi besar-besaran. Aparat pemerintahan harus menunjukkan teladan yang baik, dengan bekerja keras, jujur, integritas tinggi, antusias, dan berorientasi untuk kemaslahatan orang banyak. Budaya melayani harus benar-benar dijalankan.  Contoh pejabat publik yang berintegritas dan sukses sudah ada seperti: Dahlan Iskan, Jokowi, Mahfud MD, dan lain-lain.

7. Identifikasi potensi ekonomi Aceh, dan susun road-map strategi pengembangannya. Sesungguhnya metoda sudah ada sejak puluhan tahun silam, ketika Aceh Membangun menjadi cita-cita pasca konflik 1959. Tinggal lagi, modifikasi dan revitalisasi perlu terus menerus dilakukan dengan konsisten.

8.    Kawasan industri Lhokseumawe pasca Arun harus tetap hidup. Komitmen pemerintah pusat untuk revitalisasi kilang Arun sudah jelas. Akhir 2013 nanti, kawasan kilang Arun akan menjadi tempat penerima gas impor yang akan dipakai untuk menggerakkan industri-industri besar di Aceh dan Sumut. Kondisi ini harus disambut oleh pemerintah Aceh dengan menyediakan infrastruktur yang lengkap dan kuat di kawasan tersebut. PLTG bekas Arun dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk industri di sana. Sarana dan prasarana umum harus prima dan dijaga dengan baik agar dapat melayani denyut kehidupan industrinya.

9.      Bidang-bidang andalan Aceh yang perlu dikembangkan, selain untuk konsumsi lokal, juga dapat untuk ekspor. Pertanian/perkebunan: beras, kelapa sawit, coklat, pala, aren, pinang, pisang, cabai, tomat, pepaya, mangga, rambutan, nenas, dan lain-lain. Peternakan: unggas (ayam, itik, telur), kambing, sapi. Perikanan: tambak udang, ikan air tawar, industri ikan laut.

10. Industri pariwisata dan sarana pendukungnya perlu juga menjadi perhatian khusus. Ciri negara maju dan cerdas adalah yang mampu mengeksploitasi potensi pariwisatanya menjadi sumber pemasukan yang utama. Ini menyangkut dengan perilaku dan budaya yang dimiliki masyarakat di dalamnya. Investasi di industri jasa pariwisata lebih kepada upaya mengubah perilaku masyarakat agar lebih ramah dan mampu membuat betah pelancong dari luar untuk rela berlama-lama menghabiskan duitnya di Aceh.


Kuala Lumpur, 22 Mei 2012



Thursday, April 12, 2012

Gempa dan Pilkada Aceh

Hari Senin 9 April lalu Aceh baru saja melangsungkan pilkada yaitu pesta demokrasi lokal untuk memilih Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh wilayah Aceh. Begitu besarnya gaung pilkada ini sehingga menyita hampir seluruh perhatian masyarakat Aceh untuk ikut berpartisipasi. Baik sebagai aktor yang bermain dalam perhelatan, maupun hanya sebagai pengamat.

Hari Selasa 10 April, hasil perhitungan cepat (quick-count) telah diumumkan. Yang menang adalah calon Gubernur dari Partai Aceh: Zaini Abdullah dan pasangannya Muzakkir Manaf. Walau bukan pengumuman resmi, namun seperti biasanya pemenang resmi yang akan diumumkan nanti oleh KIP sepertinya tidak akan melenceng jauh dengan hasil perhitungan cepat ini. Banyak pengamat perpolitikan Aceh mengkhawatirkan suhu politik akan memanas. Jauh-jauh hari sebelumnya, perseteruan politik antara PA dengan Irwandi Yusuf sangat tinggi. Dengan hasil sementara pilkada mengarah kepada calon dari PA, ada kemungkinan resistensi dari pihak pendukung Irwandi Yusuf akan muncul.

Hari Rabu 11 April, menjelang Ashar tiba-tiba gempa berskala besar dengan kekuatan 8,5 SR menggegar Aceh. Gempa yang dahsyat seperti mengulang tragedi 26 Desember 2004 silam. Dengan skala yang tidak jauh berbeda masyarakat Aceh sudah menduga bakal datang lagi tsunami yang mengerikan itu. Aceh panik! Ribuan orang berhamburan keluar rumah dan memenuhi jalan-jalan berlarian mencari tempat yang lebih tinggi dan aman. Asma Allah dilaungkan tak henti-henti.

Yang ingin saya sampaikan adalah: adakah hubungan antara Gempa Aceh dengan Pilkada Aceh ini? Mengapakah waktunya sangat berdekatan? Kebetulankah?

Jawabannya bisa beragam.

Pertama, tidak ada hubungan sama sekali. Pilkada ya pilkada. Gempa ya Gempa, fenomena alam biasa yang terjadi karena tumbukan lempeng bumi. Kebetulan Aceh berada dalam kawasan rawan gempa.

Kedua, mungkin saja ada hubungannya. Dalam memaknai hubungan spiritual makhluk dengan sang Khalik, fenomena alam dapat ditafsirkan sebagai manifestasi sarana komunikasi sang Khalik dengan makhluk ciptaannya. Manusia sebagai makhluk pilihan Allah yang dipercayakan menjadi khalifah di muka bumi hendaknya dapat membaca isyarat-isyarat alam yang muncul.

Berkaca dari peristiwa gempa dan tsunami 26 Desember 2004, banyak kalangan yang mengakui bahwa bencana itu sesungguhnya mengandung hikmah yang besar. Siapa yang sangka selepas tragedi dahsyat tersebut perdamaian Aceh dapat terlaksana dengan mudahnya. Pertikaian sengit yang sepertinya tak akan ada penyelesaiannya, akhirnya sirna. Aceh damai yang dirindukan itu benar-benar menjadi nyata.

Kini Allah kembali menurunkan isyarat yang sama kepada kita. Hikmah apa di sebaliknya? Seolah-olah Allah ingin kembali mengingatkan kita, masihkah ingin bertikai lagi? Masihkah damai yang ada ini ingin tetap dipertahankan?

Kepada pihak pemenang pilkada, hendaknya tidak perlu bersorak gembira. Jadikan kemenangan ini sebagai sarana pengabdian yang tulus ikhlas kepada kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Aceh yang telah begitu lama diidam-idamkan. Kepada pihak yang belum menang, tidak perlu kecewa dan sakit hati sampai memboikot dan dendam berkepanjangan. Terimalah kenyataan dengan lapang dada. Toh, pilkada ini hanya sebatas urusan dunia yang berfungsi sebagai sarana pemberian mandat kepada yang harus bertanggungjawab menjalankan pelayanan kepada masyarakat. Pemenang pilkada adalah PELAYAN MASYARAKAT bukan PENGUASA BARU PEMERAS RAKYAT. Untuk itu mari kita dukung bersama-sama dan kita jaga perjalanan berpolitik ini dengan penuh tanggung jawab.

Hikmah besar dari fenomena gempa ini adalah Allah begitu sayang dan cinta kepada rakyat Aceh, sehingga kita diberinya peringatan dan isyarat melalui gempa ini. Allah sepertinya ingin mengingatkan, jangan macam-macam ya, mudah saja bagiKu untuk mengulangi kembali ancamanKu. Mudah-mudahan kita mampu membaca dan menafsirkannya. Amin.

Thursday, July 14, 2011

MENATA ULANG STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN ACEH

Oleh: Dandi Bachtiar

Pendahuluan

Aceh adalah sebuah wilayah eksotik di ujung Barat pulau Sumatera yang terkenal di seluruh dunia ketika bencana dahsyat gempa dan tsunami melanda kawasan tersebut pada 26 Desember 2004. Sebelumnya, Aceh juga menjadi perhatian dunia disebabkan konflik politik yang berkepanjangan dengan pemerintah pusat. Ternyata di sebalik bencana besar terdapat pula hikmah besar, yaitu terwujudnya kesepakatan perdamaian politik di antara pihak-pihak yang bertikai pada 15 Agutus 2005 (MoU Helsinki). Penderitaan rakyat Aceh akibat perang dan bencana alam mulai dapat direhabilitasi dengan adanya bantuan kemanusiaan dari seluruh dunia dan impak dari perjanjian perdamaian dengan pemerintah pusat. MoU Helsinki juga memberi mandat kepada lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dan berdirinya pemerintahan baru Aceh yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis melalui Pilkada 2006. Pemerintahan Aceh ini memberi secercah harapan dalam membangun masa depan masyarakat Aceh yang lebih sejahtera.

UU-PA memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah Aceh dalam mengelola wilayah ini, termasuk wewenang pengelolaan hutan Aceh untuk kesejahteraan rakyat. Di awal tugasnya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah mulai mencanangkan kebijakan positif di bidang pengelolaan hutan, yaitu jeda penebangan hutan (moratorium), melalui Instruksi Gubernur No. 5 tanggal 6 Juni 2007. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya penghentian sementara aktifitas eksploitasi hutan yang masif dan memberi ruang kepada usaha-usaha penataan ulang strategi pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan. Gubernur bertekad melaksanakan tiga program selama moratorium, yaitu penataan ulang hutan Aceh (redesign), penanaman pohon untuk hutan yang rusak (reforestasi) dan mengurangi laju kerusakan hutan (reduksi deforestasi). Tulisan ini membahas sejauh mana implementasi yang telah dijalankan dan mencoba melihat celah-celah ketimpangan yang muncul serta menambah beberapa masukan yang dapat memberi kontribusi positif dalam penataan strategi pengelolaan hutan Aceh ke depan.

Hutan Aceh sebagai Sumber Daya

Luas wilayah daratan Aceh meliputi 55.400 km2 ( 5.54 juta Ha) dimana 60,22% nya masih ditutupi oleh hutan. Ini bermakna kawasan hutan yang ada di Aceh mencapai luas sekitar 3,34 juta Ha [1]. Sebagian besar kawasan hutan tersebut berfungsi sebagai hutan lindung 55%, hutan konservasi 25% dan hutan produksi 20%. Hutan lindung adalah kawasan yang keadaan alamnya diperuntukkan sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir, pencegahan erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang dijaga kelestariannya karena berperan sebagai perlindungan flora dan fauna, wisata alam dan pengembangan riset ilmu pengetahuan. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan keras yang diusahakan untuk dipungut hasilnya. Dari distribusi fungsi hutan di atas, terlihat 80% hutan Aceh masih terjaga sebagai kawasan yang lestari. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa laju pengrusakan hutan terus meningkat sejalan dengan kebutuhan ekonomi manusia yang terus bertambah. Data pada tahun 1997 menunjukkan kawasan hutan Aceh masih berkisar pada 63,6% [2]. Perbandingan dengan data BRR di atas yang merujuk kepada data hutan Aceh tahun 2000, bermakna sepanjang 3 tahun telah terjadi pengurangan lahan hutan sebanyak 3,38%.

Namun adakah selama ini masyarakat Aceh telah mengambil keuntungan maksimal dari pemanfaatan hutannya? Kalau kita melihat data angka kemiskinan Aceh yang masih tinggi jelas terlihat bahwa hutan Aceh masih belum berkontribusi kepada tingkat kesejahteraan rakyat. Bermakna sistem pengelolaan yang selama ini dijalankan hanya dinikmati oleh sebagian kecil komponen masyarakat, terutama pihak yang mendapat konsesi langsung dalam pengusahaan hasil hutan. Sistem pemberian konsesi HPH kepada pemodal, perkebunan besar kelapa sawit dan sistem pemungutan hasil hutan lainnya tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar hutan, malah menjadikan mereka sebagai buruh-buruh kasar yang terpinggirkan nasibnya di kawasan industri pengelolaan hutan. Justru yang menikmati hasil hutan ini adalah cukong-cukong kayu di luar Aceh yang memodali usaha serta segelintir oknum-oknum di pemerintahan yang bermain mata dengan pemodal besar. Ditambah lagi dengan maraknya aktifitas penebangan liar (illegal logging) semakin menambah kerusakan hutan Aceh.

Paradigma Baru Pengelolaan Hutan

Pemerintahan Aceh yang baru terpilih secara demokratis di tahun 2006 memiliki keuntungan psikologis dalam memulai pengabdiannya. Pemerintah ini tidak memiliki beban masa lampau yang dianggap telah mengelola dengan tidak becus. Visi Aceh Green yang dicanangkan sebagai strategi baru pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan dapat dianggap sebagai angin segar sehingga harapan rakyat banyak disandarkan pada program baru ini. Wakil Gubernur Muhammad Nazar juga menyebutkan ini sebagai paradigma baru, dari pengelolaan hutan yang sebelumnya menitikberatkan pada pemanfaatannya, menjadi lebih kepada upaya rehabilitasi dan konservasi [3].

Visi Aceh Green pada intinya adalah upaya konservasi hutan yang diintegrasikan dengan tata kelola lahan, pengembangan komunitas, komersialisasi hutan, penggunaan energi terbarukan berkaitan dengan isu perubahan iklim global [4]. Visi ini mencoba meraih simpati dunia internasional, dengan mengaitkan upaya konservasi hutan Aceh sebagai salahsatu penyangga paru-paru dunia. Suatu cita-cita yang amat luhur di mata penggiat lingkungan internasional. Hutan Aceh dikondisikan bukan saja sebagai sumber daya kepada masyarakat lokal namun juga berperan penting dalam melindungi bumi dari bencana pemanasan global. Hutan Aceh menjadi amat penting bagi seluruh penduduk dunia.

Ambisi besar Gubernur Irwandi dalam implementasi konsep ini diwujudkan dengan kehadiran beliau dalam pertemuan-pertemuan tentang iklim global yang disponsori oleh PBB dan ikrar beliau untuk mengikutkan Aceh sebagai pionir dalam program REDD, yaitu Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation in Developing Countries. Program ini idenya muncul dari pihak negara industri maju yang aktifitas ekonominya menghasilkan emisi karbon yang telah melebihi kuota yang ditentukan oleh Protocol Kyoto [5]. Kelebihan emisi karbon ini harus dikurangi, namun tentunya akan berpengaruh pula kepada laju pertumbuhan ekonomi negara mereka, suatu hal yang tidak mereka inginkan. Jalan keluar yang ditempuh adalah mencari kompensasi agar laju pertumbuhan ekonomi negara tidak terhenti, dengan cara membeli kelebihan karbon yang dimiliki oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia dimana terdapat simpanan karbon yang melimpah dari hutan Aceh ini. Gubernur Irwandi menangkap ini sebagai peluang sumber pendanaan yang besar dalam pengelolaan hutan Aceh, dengan menjaganya tetap lestari.

Kritik terhadap Aceh Green

Meskipun sekilas terlihat konsep Aceh Green dan implementasi REDD untuk hutan Aceh cukup menjanjikan, namun ternyata masih banyak pihak yang meragukannya. Bahkan mulai muncul kelompok-kelompok yang bersuara keras menentang program ini. Logika yang diusung oleh pihak ini adalah program REDD hanya sekedar tipuan dan merupakan bentuk penjajahan baru dari negara Barat. Hutan Aceh akan tergadaikan, demi kelangsungan pertumbuhan roda ekonomi negara maju. Mereka terus dengan leluasa memproduksi emisi karbon ke atmosfer bumi, sementara kita di Aceh dipaksa menjaga hutan-hutan tidak ditebang demi menyerap karbon dunia. Dana kompensasi dikuatiri tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas, malah akan terhenti pada pihak-pihak tertentu yang tidak layak menerimanya. Kedaulatan wilayah hutan juga menjadi lemah, ketika pihak negara maju yang akan memberi dana kompensasi meminta jaminan konservasi hutan dengan monitoring langsung ke wilayah-wilayah hutan kita. Tiada jaminan bahwa selain monitoring mereka tidak mencampuri sumber-sumber daya lainnya yang terkandung dalam hutan kita. Salahsatu contoh terbaru kasus penolakan ini disuarakan oleh Greenomics Indonesia, yang menemukan fakta bahwa Carbon Conservation Ltd yang ditunjuk oleh Gubernur Aceh sebagai broker kredit karbon hutan Aceh, telah menukar nilai uang karbon hutan Aceh menjadi bentuk saham dalam perusahaan tambang asing yang berinvestasi di Aceh [6]. Di saat masyarakat Aceh belum mendapatkan kompensasi apa-apa dari hutannya, ternyata pihak agen asing telah menuai keuntungan. Sungguh ironis, jika akhirnya masyarakat Aceh kembali gigit jari, dan pihak asing yang justru menikmati manfaat langsung upaya konservasi hutan Aceh.

Revitalisasi Aceh Green

Bagaimana pun, konsep Aceh Green yang fokus pada konservasi merupakan sebuah ide yang brilian. Namun perlu ada upaya kontemplasi dan penataan ulang yang cerdas dalam implementasi ideal konsep tersebut. Point penting pertama yang perlu diingat adalah niat yang ikhlas untuk kesejahteraan masyarakat. Apakah konsep yang diluncurkan benar-benar dilandasi tekad kuat demi kemaslahatan rakyat, atau ada udang di balik batu, yaitu untuk kepentingan diri dan kelompoknya semata. Jika tekad telah bulat dilandasi semangat kebersamaan insya Allah akan ada solusi untuk langkah berikutnya.

Kedua, penegakan hukum yang tegas. Tindakan ini perlu untuk menjaga program dapat berjalan dengan sempurna. Manakala terdapat pelanggaran terhadap program, perlu ada mekanisme yang jelas dan tegas dalam memberi tindakan hukum.

Ketiga, sosialisasi yang intens dan terarah kepada semua pihak yang berkepentingan, sehingga tujuan mulia program benar-benar dipahami oleh masyarakat. Contohnya sosialisasi pemahaman REDD, apakah murni sebagai mekanisme insentif kepada negara yang sukses menjaga hutannya demi paru-paru dunia, atau program kamuflase semata dari negara penghasil emisi karbon.

Keempat, adanya mekanisme yang memungkinkan partisipasi masyarakat dalam mengajukan ide-ide brilian berkenaan dengan konservasi hutan. Mekanisme ini dapat berupa dialog yang intens, seminar, perlombaan dan bentuk partisipasi lainnya. Keterlibatan pihak akademik di kampus-kampus juga menjadi bagian dari mekanisme ini. Mekanisme diharapkan mampu menjaring pemikiran segar, orisinal dan asli muatan lokal sehingga menambah nilai kemandirian program yang diusung.

Mencermati program utama Aceh Green dalam redesign, reforestasi dan reduksi deforestasi, berikut beberapa alternatif implementasi yang dapat menambah khazanah kandungan program:

1. Pariwisata Hutan; akan menjadi sumber devisa yang menjanjikan apabila dapat dikemas dengan profesional. Modal utama yang ‘dijual’ adalah kawasan hutan konservasi Leuser yang kaya dengan flora dan fauna langka dunia, seperti orang utan, gajah, harimau, bunga raflessia, plasma nutfah sebagai sumber keanekaragaman hayati.

2. Perkebunan Aren; potensi aren sangat menjanjikan dalam menghasilkan bahan bakar bio (biofuel). Aceh dapat menjadi pionir dalam mengangkat potensi tanaman asli hutan ini.

3. Energi Panas Bumi; eksplorasi panas bumi dapat dijadikan sebagai sumber energi abadi untuk memproduksi gas hidrogen secara ramah lingkungan. Hidrogen diramalkan akan menjadi energi masa depan dunia, jika dapat diproduksi dengan menggunakan sumber energi terbarukan maka statusnya akan benar-benar menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan.

Sumber pendanaan dari implementasi murni REDD dengan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat lokal dalam pelaksanaannya, akan benar-benar mewujudkan cita-cita yang diemban oleh konsep Aceh Green, yaitu sejahtera tanpa merusak hutan. Akhirnya, konsep Aceh Green diharap benar-benar menjadi milik rakyat Aceh, sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin Aceh kelak akan tetap menjalankan program ini secara berkesinambungan.

Kuala Lumpur, 14 Juli 2011

Penulis: Dandi Bachtiar, email: dandibachtiar@gmail.com

Referensi:

1. Saodah Lubis, Hariadi Kartodihardjo, Wiratno, Stepi Hakim, Taqwaddin, dan Yusdinur Usman, Sebuah Pemikiran Kebijakan Pengelolaan Hutan Aceh, BRR-NAD-Nias, Banda Aceh, 2008

2. Rodolphe De Koninck, Stephane Bernard, and Marc Girard, Aceh’s Forests as an Asset for Reconstruction?, Proceedings of First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Banda Aceh, 24-27 February 2007

3. Harian Waspada, 30 Desember 2009, Pemerintah Aceh Ubah Paradigma Pengelolaan Hutan

4. Aceh Green, Green Economic Development and Investment Strategy for Aceh, Indonesia, July 2008, http://www.aceh-eye.org/ data_files/english_format/economic/economic_analysis/eco_analysis_2008_07_00.pdf

5. Fajar Jasmin, REDD: Selamatkan Hutan Indonesia Demi Masa Depan Dunia,

http://iklimkarbon.com/2009/12/21/redd-selamatkan-hutan-indonesia-demi-masa-depan-dunia/

6. Harian Media Indonesia, 5 Mei 2011, Greenomics Menentang Hutan Aceh Jadi Aset Transaksi.


Thursday, October 28, 2010

5 Rahasia Sukses Saya Menulis

Oleh: Udo Yamin Majdi

Dua hal yang menggerakan kita berbuat atau bergerak, menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Qa'idah fi al-Mahabbah (Dar Ibnu Hazm, 1999), adalah cinta (al-mahabbah) dan keinginan (al-iradah). Begitu juga dalam menulis, kita butuh cinta sekaligus keinginan.

Dari cinta dan keinginan itu, melahirkan kemauan alias kesungguhan. Dalam bahasa Arab, kesungguhan ini kita kenal dengan kata "jihad". Kalau saya rumuskan atau formulasikan rahasia sukses saya menulis, maka ada lima hal:

1. Jujur

Jujur adalah pintu masuk segala kebaikan. Sebaliknya, dusta pintu masuk segala kejahatan. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad Saw. masih mentolerir seorang pemuda yang minta izin untuk mencuri, mabuk-mabukan dan berzina, asal siap menjalani satu syarat, yaitu jujur. Ternyata syarat jujur ini membuat sang pemuda tidak berani melakukan tiga dosa besar itu, sebab dia akan malu, manakala rasul bertanya, lalu dia jujur telah berbuat dosa. Dan akhirnya dia menjadi orang baik.

Dalam menulis, kejujuran ini sangat penting. Bahkan pertama dan utama. Kejujuran ini akan membuat karya seseorang bermakna dan menjadikan seorang penulis memiliki integritas. Makna dan integritas inilah yang akan menggerakan banyak orang berubah, sesuai dengan apa yang kita tulis.

2. Istiqamah

Betapa banyak orang yang begitu semangat ingin menjadi penulis, pada awalnya. Namun, akhirnya mereka gagal menjadi penulis sebab tidak istiqamah. Padahal, mereka tinggal satu langkah lagi untuk menjadi sukses dalam bidang kepenulisan. Orang yang tidak istiqamah, alias punya mood musiman, tidak pernah akan meraih apa yang dia inginkan.

Manakala kita ingin sukses, istiqamahlah! Kita istiqamah dengan prinsip dan nilai hidup kita. Kita istiqamah dengan visi, misi dan strategi hidup kita. Kita istiqamah dengan target dan jam biologis kita menulis. Kita istiqamah untuk menekuni dunia kepenulisan.

3. Hikmah

Kita menulis, salah satu tujuannya adalah karena kita ingin berbagi hikmah. Bagaimana mungkin kita akan memberikan hikmah itu, kalau kita tidak memilikinya? Kita harus memungut hikmah dari mana saja, baik dari pengalaman hidup kita sendiri, maupun orang lain. Yang jelas, bagi saya, sumber hikmah itu adalah Al-Quran. Sebab, dalam surat Yasin ayat pertama, Allah memberitahu kita bahwa Al-Quran penuh dengan hikmah.

Oleh sebab itu, sebelum kita menulis, bukalah mata, telinga dan hati kita untuk siap mendapatkan pengetahuan, informasi, dan ilmu. Dengan mata kita bisa membaca, meneliti, mencermati, dan memperhatikan apa dan siapa saja, terutama buku. Dengan telinga, kita bisa menangkap suara kebenaran, keindahan, dan keharmonisan, baik dalam diri kita, maupun di luar diri kita.

4. Aktif

Menulis itu memang dunia sunyi. Namun itu hanya berlaku saat kita menuangkan ide saja. Namun untuk mencari ide dan menentukan cara kita menuangkan ide, kita butuh keramaian. Betapa banyaknya karya yang tidak menggerakan pembaca, sebab isinya bagaikan menara gading; ada kesenjangan antara idealisme dengan realitas, hanya bicara "seharusnya", bukan "apa adanya".

Karena kita harus aktif di berbagai organisasi, terutama komunitas kepenulisan. Tujuannya, selain untuk mengasah EQ kita dalam "membaca" siapa pembaca kita, juga untuk mempertahankan semangat kita. Biasanya, kalau kita lagi down, lalu kita silaturahmi dengan teman-teman yang lagi aktif menulis, insya Allah semangat kita kembali berkobar.

5. Dinamis

Bila hidup kita tidak dinamis, alias datar-datar saja, maka kita akan bosan. Begitu juga dalam dunia kepenulisan, kalau kita menulis hanya "itu-itu" saja, yakinlah bukan hanya pembaca kita yang bete, namun diri kita sendiri. Berbeda dengan orang yang dinamis, hidup mereka seperti spiral semakin naik dan semakin besar, mereka akan terus semangat. Kesuksesan kecil yang mereka raih, membuat mereka bangkit untuk meraih kesukses lain. Akumulatif dari kesuksesan kecil itu, melahirkan kesuksesan besar. Meledaknya kesuksesan ini, kita kenal dengan momentum. Setiap orang punya momentum untuk sukses.

Salah satu cara kita agar dinamis dalam menulis adalah selalu menilai karya kita setiap saat. Dalam menilai, kita bandingkan karya kita hari ini dengan karya kita hari yang lalu. Jangan membandingkan karya kita dengan orang lain. Sebab, manakala pembandingnya lebih tinggi dari kita, maka kita akan kurang pede, bahkan putus asa. Sebaliknya, manakala pembanding kita lebih rendah, akan membuat kita terlalu pede, bahkan sombong.

Oleh sebab itu, bandingkan diri anda dengan diri Anda pada masa lalu. Kalau lebih baik beruntunglah. Kalau sama, Anda merugi. Kalau lebih jelek, Anda akan celaka. Tentu saja, kita akan memilih, hari ini lebih baik dari hari kemaren dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.

Dan hal lebih penting lagi, yang membuat hidup kita dinamis adalah kemampuan kita mengaitkan diri kepada Allah. Sebab orang yang dekat kepada Allah, hidupnya akan terus tumbuh dan berkembang ke arah lebih baik. Ketika kita futur, misalnya malas sholat, maka kita akan malas melakukan yang lainnya, akhirnya kita bermasalah dengan orang sekitar. Karena banyak masalah, menarik diri dari pergaulan. Akhirnya, mereka tidak berkembang, bahkan jiwanya mati.

Rumusnya, kalau hubungan kita kepada Allah harmonis, insya Allah kita akan hormanis dengan diri sendiri. Kalau dengan diri kita harmonis, insya Allah kepada orang lain akan hormonis pula. Begitu juga sebaliknya. Jadi, sebelum Anda menjadi penulis, selesaikan dulu hubungan Anda dengan Allah, diri Anda dan orang lain. Dengan kata lain, perbaiki dulu SQ, IQ dan EQ Anda! Bila tidak, maka tulisan Anda akan menjadi sampah!

Lima kunci tersebut, saya beri nama sesuai dengan singkatannya J-I-H-A-D. Saya menyakini, kalau saya bersungguh-sungguh melaksanakan lima prinsip dan nilai ini, maka saya akan sukses. Dan al-hamdulillah, hal itu ternyata terbukti. Silahkan siapa lagi yang ingin membuktikannya?

Wallahu alam bish shawab.

Saturday, October 02, 2010

Tragedi KA Argo Bromo Anggrek


Dunia transportasi Indonesia kembali berduka. Dini hari 2 Oktober 2011 tadi terjadi lagi tabrakan kereta api eksekutif Argo Bromo Anggrek Jakarta - Surabaya yang menyeruduk kereta api ekonomi Jakarta - Semarang di Stasiun Pemalang. Korban jiwa, luka berat dan luka ringan berjatuhan. Sampai malam korban jiwa sudah mencapai 33 orang, dan diperkirakan bakal bertambah lagi karena masih ada korban yang terjepit di dalam gerbong kereta yang hancur. Dari jumlah korban sudah terbaca dahsyatnya kecelakaan ini.

Tragedi demi tragedi di dunia transportasi Indonesia tampaknya masih terus datang dan menghantui. Sudah saatnya kita sadar dan membenahi sistem transportasi ini secara menyeluruh dan sistematis. Secara politis, Presiden dan Menteri Perhubungan adalah pihak yang paling bertanggung-jawab terhadap tragedi ini. Pada zaman Orde Baru dahulu, musibah besar di bidang transportasi tidak dapat menyentuh level manajemen tertinggi. Paling-paling yang diseret ke pengadilan adalah level operator di lapangan. Tragedi Tampomas II tahun 1981 dan Tragedi Bintaro tahun 1987 yang menelan korban jiwa ratusan nyawa, berlalu begitu saja. Pihak yang dipersalahkan hanya personil yang mengoperasikan alat di lapangan. Padahal penyebab utama kecelakaan tersebut jika ditelusuri jauh sampai ke akarnya, akan terkena pihak-pihak yang bertanggung-jawab pada level manajemen.

Mari kita simak lagi kisah tragedi-tragedi silam pada link di atas, akan terbaca bahwa semuanya ini bermula dari manajemen yang rapuh dan pengelolaan sistem transportasi yang tidak profesional, mulai dari level yang paling atas. Namun, para Menteri dan Dirjen terkait dapat lepas dari kesalahan karena diselamatkan oleh sistem pemerintahan Orde Baru yang anti-kritik dan otoriter tersebut.

Kini, eranya reformasi. Eranya transparansi dan pertanggungjawaban publik perlu dikedepankan. Mari kita tunggu, apakah presiden SBY berani memberikan sanksi kepada Menteri Perhubungan dan jajarannya. Setidaknya perlu ada pembenahan yang nyata dan terang untuk masa depan transportasi Indonesia yang lebih baik.

Friday, October 01, 2010

Banda Aceh Tempo Doeloe (2)

Pelacur di Peunayong, Gudang Preman arah Jambo Tapee

Oleh: Hasyim KS

Kita tidak tahu apakah ketika tahun 1205 M sebagai awal ditetapkan lahirnya kota Banda Aceh, apakah nama tersebut memang Banda Aceh (Bandar Aceh) atau ada yang lain. Kalau direnung-renungkan, kiranya jauh lebih tua Banda Aceh dengan Malaka, atawa pusat kerajaan Islam Moghul di Delhi India maupun beberapa kesultanan di Indonesia Bagian Timur. Tapi mana sisa-sisa sebuah kota yang berpredikat bandar itu?

Tanpa mengecilkan arti benar tidaknya ada sebuah bandar hebat ketika itu, siapapun mengakui yang tahun 1205 M itu adalah munculnya kerajaan Aceh Darussalam dengan Sultan pertamanya Alaidin Johan Syah. Mungkin saja ibu kota kerajaan itu memang di Banda Aceh sekarang yang jaraknya 5 KM dari lalulintas samudera ketimbang sebuah kota sebagai bandar pelabuhan seperti Malaka, Makassar dll, yang juga muncul di abad-abad lampau.

Sebagian kita barangkali telah terbawa arus berimajinasi dari orang-orang tertentu zaman kini tentang adanya sebuah kota berstatus bandar pelabuhan yang sibuk. Imajinasi-imajinasi demikian membuat kita menerima saja akan sesuatu, sebagai meyakinkan bahwa kita juga memiliki sebuah kota macam Malaka, Palembang, Bengkulu dll lagi. Sekali lagi tanpa mengecilkan arti keberadaan sejarah yang pernah melintas di negeri ini, kita cukup bangga dengan runutan para Sultan dan Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam yang memang jelas ada dan bahkan telah berpengaruh sampai ke tingkat internasional pada abad-abad lalu tersebut.

Dari berbagai catatan, diperoleh data tanpa mengecilkan arti Banda Aceh yang telah berusia lebih 7 abad ini, tentang lebih mencuatnya beberapa pelabuhan di Pantai Barat yang berhadapan dengan Samudera Hindia, tanpa predikat bandar, semenjak dari Negeri Barus sampai ke kawasan Aceh Besar. Dalam peta-peta kuno jalur pelayaran para nakoda asing, tercantum nama-nama pelabuhan yang pada jadwal-jadwal tertentu mereka wajib singgah untuk membeli ataupun membarter berbagai jenis rempah-rempah. Baiklah kita telusuri peta kuno para pelaut asing tersebut seperti yang diungkapkan dalam buku Aceh Sepanjang Abad oleh Mohd.Said. Adalah pelabuhan-pelabuhan tersebut berikut ini dalam ejaan lidah pelaut asing, yakni: Barus, Tepus, Singkli (Singkil), Trumon, Mukki (Meukek), Labonarge (Labuhanhaji), Talafao (Lhokpaoh), Susu/Pulo Kiyu (Susoh/Pulau Kayu), Qualah Batto (Kuala Batee), Rigas (Rigah), Kluwang (Keuluang) dan Anambelu (diperkirakan pelabuhan Inong Balee-Pen).

Mereka, pelaut-pelaut asing itu tidak mencantumkan adanya Sibolga, Tapaktuan, Meulaboh, Calang, maupun Banda (Bandar) Aceh. Lagi-lagi tanpa mengecilkan arti sebuah nama, semua orang mengakui bahwa keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam dengan petinggi pertamanya Sultan Alaidin Johan Syah memang telah ada semenjak 795 tahun lalu. Dengan Perda Aceh No. 5/1988, ditetapkanlah tanggal keberadaan Banda Aceh bertepatan dengan hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H, atau 22 April 1205 M. Namun apakah ada tidaknya sebuah bandar (kota pelabuhan) ketimbang ibu kota sebuah kerajaan yang berwibawa, para peneliti sejarah jugalah yang mampu mengungkapkannya. Wallahualam bissawab.

Cuma 6 Sekolah Dasar

Setelah penyerahan kedaulatan 1949, Banda Aceh yang disebut sebagai Kutaraja hanya memiliki 5 Sekolah Dasar (SD) yang ketika itu disebut Sekolah Rakyat (SR). Menurut salah seorang murid dari salah satu SD tersebut, Din Pawang Leman (68) seorang tokoh masyarakat dari Leupeung, lokasi SR tersebut masing-masing: SR seleretan SMU 1, sekarang SD 7 dan 9. SR di Jln Mohd Jam, sekarang pertokoan antara lain Supermarket Yusri.SR di Lampoh Jok Peuniti, sekarang SD 3 dan 42. SR di dekat Gudang Preman (Jln. T. Nyak Arief) depan Kantor DOLOG, sekarang SD 4 dan 15. SR di Kampung Jawa, sekarang sudah dibongkar. SR Neusuh, sekarang bangunan baru sebagai SD 32.

Tahun 1950 muncul satu-satunya Sekolah Rendah Islam (SRI) Al Qariah berlokasi di belakang Masjid Raya Baiturrahman. Tahun-tahun berikutnya muncul satu-satunya di Aceh yaitu SMA Negeri (SMU 1 sekarang). Dan Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Gura Atas (SGA) menumpang pada ruang belakang Gereja Pante Pirak. Menjelang tahun 1956 muncul gedung baru untuk SGA berlantai 2 sederetan Kolam Renang Pante Pirak sekarang.

Peunayong dan Gudang Pereman

Sebelum Perang Dunia II, kalau anda keluar melancong sore dan pulang malam, ternyata ketahuan dari kawasan Peunayong di seberang Kali Aceh, jelas anda dicurigai sebagai baru pulang plesir dengan pelacur. Ternyata sarang si Kupu-Kupu Malam ini memang terkenal di kawasan Peunayong ketika itu. Beberapa pengakuan orang-orang lama, ketika itu obat penyakit perempuan (maksudnya Sipilis/ Raja singa- Pen) belum ada. Pasien-pasien yang diterima di Rumah Sakit Kuta Alam (sekarang Rumah Sakit Tentara) adalah si Hidung Belang yang terkena sipilis. Satu-satunya pertolongan yang mampu diusahakan dokter adalah memasukan slang karet ke lobang batang alat kelamin lalu menyemprotkan sejenis cairan. Dan si sakit sudah tentu berteriak-teriak kesakitan. Dengan pengobatan demikian ada yang sembuh namun tidak jarang yang tak mempan meninggal digerogoti penyakit perempuan tersebut.

Dan apa pula yang disebut "Gudang Preman" itu?

Maksudnya kalau ke jurusan Jln. T. Nyak Arief sekarang ini, dulu disebut Jln Krueng Raya atau Jln Gudang Preman. Jalan itu tidak sepanjang Jln. T. Nyak Arief sekarang, hanya sampai batas kota di Simpang Jambo Tapee. SimpangJambo tapee itu sendiri dikatakan sebagai daerah pinggiran kita. Di sini ada lapangan ternak lembu perah milik keluarga India pakai sorban. (maksudnya etnis orang India Sikh/Benggali-Pen.) Kalau lewat Jambo Tapee ke arah Lamnyong atau Krueng Raya, di kiri kanan jalan tanpa aspal itu hanya ada sawah, rawa-rawa serta belukar. Jurusan jalan Gudang Preman yang disebut tadi, dulunya cukup suram di malam hari dan bahkan sering dijadikan tempat menunggu seseorang yang tak disukai untuk dibunuh.

Sebelum tahun 1930-an, Kutaraja memang dalam keadaan remang remang di malam hari. Peneranganjalan hanya dengan lampu minyak yang dimasukan dalam kotak kaca (lentera) yang dipancangkan di tempat-tempat tertentu. Sementara toko-toko dan rumah-rumah orang kaya dan ambtenaar Belanda memakai lampu Strom King (Petromax) ukuran besar yang semprongnya macam jantung pisang. Jadi lampu yang diisi angin dengan pompa sepeda itu disebut juga lampu jantung.

Ternyata yang disebut Gudang Preman itu karena di salah satu sisi jalan yang sepi ini dulunya ada sebuah bangsal bekas gudang yang lokasinya kira-kira di belakang SD 4-15 sekarang. Tidak ada hubungan Gudang Preman dengan ke angkeran Jln. T. Nyak Arief itu. Preman yang dimaksud jangan disamakan sebagai sebutan untuk preman sekarang, sebagai tukang pukul, perampok maupun pencopet.

Menurut orang-orang lama, yang disebut preman itu dalam ejaan Belanda frijman. Atau dalam ejaan Inggris, freeman, adalah pria- pria yang tidak memiliki lapangan kerja tetap. Tepatnya "pria bebas" bahkan kaum penganggur pun dimasukan dalam jenis preman. Di bekas gudang itulah mereka berkumpul dan tinggal agar mudah ditemukan oleh para pembutuh tenaga kerja musiman. Kebanykan perman-preman itu terdiri dari perantau-perantau luar Aceh, semisal Jawa dan orang-orang Indonesia Bagian Timur. Bahkan pemerintah Belanda memberi mereka sekedar tunjangan.

Ke Kandang Babi, apa pula itu?

Tempo doeloe, kalau mau ke Jalan Teuku Umar arah ke Seutui orang akan mengatakan ke Kandang Babi. Ternyata dulu itu, semenjak Simpang Tiga Mata Ie sampai ke Taman Sari Baru atau Jln. Batee Kureng sekarang, lokasinya terdiri dari hutan pisang dan di dalam kebun pisang tersebut terdapat pemukiman kumuh, perkampungan orang Cina, khusus memelihara babi. Sampai tahun 1980, karena semenjak Simpang Jam sampai lewat Simpang Tiga Mata Ie telah berkembang menjadi kota, sisa-sisa peternak babi tersebut masih ada disekitar itu, agak masuk ke dalam dari Jembatan Goheng (sekarang Gedung SGO). Dan kemudian peternakan babi ini pindah ke Ujong Batee arah Krueng Raya, 15 Km dari kota. Begitu juga di jalan arah ke Seutu ini, ada satu kompleks yang disebut Kampung Keling, yang berseberangan dengan Kampung Blower (Sekarang Sukaramai). Sekarang ini di atas tanah kompleks Kampung Keling tersebut dibangun beberapa bangunan sebagai Taman Budaya Aceh. Yang disebut Kampung Keling itu terdiri dari sebaris kedai kayu berloteng sebanyak 16 pintu yang ditunjuk Belanda untuk hunian orang-orang India yang berprofesi sebagai laundry. Namun lokasi untuk etnis India lainnya berlokasi di Kampung Keudah. Di sini mereka memiliki rumah peribadatan. Tamil Temple untuk India Tamil dan Sikh Temple untuk India Sikh/Banggali.

Tempat hiburan

Beberapa orang lama mengatakan di Kutaraja sebelum Perang Dunia II memiliki 2 gedung kumedi gambar. Maksudnya gedung bioskop, masing-masing Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Sebelum masuknya listrik ke Kutaraja, (kira-kira sebelum tahun 1930-an), pijar tembak bayanganfilm ke layar di pergunakan sinar lampu karbid yang sudah tentu hasilbayangannya tidak setajam proyektor listrik. Begitu juga filmnya yang hitam putih masih bisu dan proyektornya memiliki engkol untuk memutar film dengan tangan. Kalau tangan pegal tentu putarannya tidak tepat, lalu ditukar dengan tangan lainnya. Karena filmnya bisu, maka di barisan depan duduk sederetan pemain musik sebagai pengisi kebisuan itu. Baru kemudian Kutaraja kedatangan listrik dan sejalan dengan itu film pun sudah ada suara. Dua gedung bisokop yang dimaksud sekarang ini adalah Bioskop Garuda (Deli Bioscope) dan Rex, hanya tinggal hamparan pertapakan gedungnya yang dimanfaatkan oleh penjaja makanan di malam hari di kawasan depan Hotel Medan sekarang.

Setelah kemerdekaan di samping Bioskop Garuda yang penontonnya tingkat menengah ke atas, maka di Peunayong muncul satu bioskop namanya Tun Fang yang sekarang ini bernama Bisokop Merpati. Rumah-rumah hiburan kebanyakan didatangi oleh para petinggi Belanda yaitu disebut Kamar Bola yang dikemudian hari dikenal dengan BalaiTeuku Umar. Sayang bangunan yang berarsitek tempo doeloe itu yang memiliki ruangan yang luas telah dibongkar dan di sana berdiri seleretan pertokoan antara lain Sinbun Sibreh.

Dan tempat hiburan lainnya yang banyak dikunjungi oleh orang biasa dan anak-anak kapal adalah Taman Sari. Dulu sebagian orang gampong menyebutnya Taman Putroe Bungsu, karena di salah satu sisi taman ada sebuah patung porselen wanita cantik. Sampai sekarang di sana masih ada sebuah bangunan bundar bergaya lama sebagai pentas bermain musik, terutama di malam minggu.

Tempat rekreasi di luar kota ketika itu sangat sedikit, seperti Lhoknga, Mata Ie dan pantai Ulheelheue dimana khusus untuk orang-orang Belanda disediakan tempat mandi laut yang dipagari besi agar jangan diganggu oleh ikan buas berikut kamar mandi dan kamar pakaian. Tempat rekreasi Ulheelheue tersebut porak poranda ketika Kutaraja dilanda gempa besar sekitar tahun 1930-an.

(Dipetik dari sini)