Oleh: Dandi Bachtiar
Pendahuluan
Aceh adalah sebuah wilayah eksotik di ujung Barat pulau Sumatera yang terkenal di seluruh dunia ketika bencana dahsyat gempa dan tsunami melanda kawasan tersebut pada 26 Desember 2004. Sebelumnya, Aceh juga menjadi perhatian dunia disebabkan konflik politik yang berkepanjangan dengan pemerintah pusat. Ternyata di sebalik bencana besar terdapat pula hikmah besar, yaitu terwujudnya kesepakatan perdamaian politik di antara pihak-pihak yang bertikai pada 15 Agutus 2005 (MoU Helsinki). Penderitaan rakyat Aceh akibat perang dan bencana alam mulai dapat direhabilitasi dengan adanya bantuan kemanusiaan dari seluruh dunia dan impak dari perjanjian perdamaian dengan pemerintah pusat. MoU Helsinki juga memberi mandat kepada lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dan berdirinya pemerintahan baru Aceh yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis melalui Pilkada 2006. Pemerintahan Aceh ini memberi secercah harapan dalam membangun masa depan masyarakat Aceh yang lebih sejahtera.
UU-PA memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah Aceh dalam mengelola wilayah ini, termasuk wewenang pengelolaan hutan Aceh untuk kesejahteraan rakyat. Di awal tugasnya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah mulai mencanangkan kebijakan positif di bidang pengelolaan hutan, yaitu jeda penebangan hutan (moratorium), melalui Instruksi Gubernur No. 5 tanggal 6 Juni 2007. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya penghentian sementara aktifitas eksploitasi hutan yang masif dan memberi ruang kepada usaha-usaha penataan ulang strategi pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan. Gubernur bertekad melaksanakan tiga program selama moratorium, yaitu penataan ulang hutan Aceh (redesign), penanaman pohon untuk hutan yang rusak (reforestasi) dan mengurangi laju kerusakan hutan (reduksi deforestasi). Tulisan ini membahas sejauh mana implementasi yang telah dijalankan dan mencoba melihat celah-celah ketimpangan yang muncul serta menambah beberapa masukan yang dapat memberi kontribusi positif dalam penataan strategi pengelolaan hutan Aceh ke depan.
Hutan Aceh sebagai Sumber Daya
Luas wilayah daratan Aceh meliputi 55.400 km2 ( 5.54 juta Ha) dimana 60,22% nya masih ditutupi oleh hutan. Ini bermakna kawasan hutan yang ada di Aceh mencapai luas sekitar 3,34 juta Ha [1]. Sebagian besar kawasan hutan tersebut berfungsi sebagai hutan lindung 55%, hutan konservasi 25% dan hutan produksi 20%. Hutan lindung adalah kawasan yang keadaan alamnya diperuntukkan sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir, pencegahan erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang dijaga kelestariannya karena berperan sebagai perlindungan flora dan fauna, wisata alam dan pengembangan riset ilmu pengetahuan. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan keras yang diusahakan untuk dipungut hasilnya. Dari distribusi fungsi hutan di atas, terlihat 80% hutan Aceh masih terjaga sebagai kawasan yang lestari. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa laju pengrusakan hutan terus meningkat sejalan dengan kebutuhan ekonomi manusia yang terus bertambah. Data pada tahun 1997 menunjukkan kawasan hutan Aceh masih berkisar pada 63,6% [2]. Perbandingan dengan data BRR di atas yang merujuk kepada data hutan Aceh tahun 2000, bermakna sepanjang 3 tahun telah terjadi pengurangan lahan hutan sebanyak 3,38%.
Namun adakah selama ini masyarakat Aceh telah mengambil keuntungan maksimal dari pemanfaatan hutannya? Kalau kita melihat data angka kemiskinan Aceh yang masih tinggi jelas terlihat bahwa hutan Aceh masih belum berkontribusi kepada tingkat kesejahteraan rakyat. Bermakna sistem pengelolaan yang selama ini dijalankan hanya dinikmati oleh sebagian kecil komponen masyarakat, terutama pihak yang mendapat konsesi langsung dalam pengusahaan hasil hutan. Sistem pemberian konsesi HPH kepada pemodal, perkebunan besar kelapa sawit dan sistem pemungutan hasil hutan lainnya tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar hutan, malah menjadikan mereka sebagai buruh-buruh kasar yang terpinggirkan nasibnya di kawasan industri pengelolaan hutan. Justru yang menikmati hasil hutan ini adalah cukong-cukong kayu di luar Aceh yang memodali usaha serta segelintir oknum-oknum di pemerintahan yang bermain mata dengan pemodal besar. Ditambah lagi dengan maraknya aktifitas penebangan liar (illegal logging) semakin menambah kerusakan hutan Aceh.
Paradigma Baru Pengelolaan Hutan
Pemerintahan Aceh yang baru terpilih secara demokratis di tahun 2006 memiliki keuntungan psikologis dalam memulai pengabdiannya. Pemerintah ini tidak memiliki beban masa lampau yang dianggap telah mengelola dengan tidak becus. Visi Aceh Green yang dicanangkan sebagai strategi baru pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan dapat dianggap sebagai angin segar sehingga harapan rakyat banyak disandarkan pada program baru ini. Wakil Gubernur Muhammad Nazar juga menyebutkan ini sebagai paradigma baru, dari pengelolaan hutan yang sebelumnya menitikberatkan pada pemanfaatannya, menjadi lebih kepada upaya rehabilitasi dan konservasi [3].
Visi Aceh Green pada intinya adalah upaya konservasi hutan yang diintegrasikan dengan tata kelola lahan, pengembangan komunitas, komersialisasi hutan, penggunaan energi terbarukan berkaitan dengan isu perubahan iklim global [4]. Visi ini mencoba meraih simpati dunia internasional, dengan mengaitkan upaya konservasi hutan Aceh sebagai salahsatu penyangga paru-paru dunia. Suatu cita-cita yang amat luhur di mata penggiat lingkungan internasional. Hutan Aceh dikondisikan bukan saja sebagai sumber daya kepada masyarakat lokal namun juga berperan penting dalam melindungi bumi dari bencana pemanasan global. Hutan Aceh menjadi amat penting bagi seluruh penduduk dunia.
Ambisi besar Gubernur Irwandi dalam implementasi konsep ini diwujudkan dengan kehadiran beliau dalam pertemuan-pertemuan tentang iklim global yang disponsori oleh PBB dan ikrar beliau untuk mengikutkan Aceh sebagai pionir dalam program REDD, yaitu Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation in Developing Countries. Program ini idenya muncul dari pihak negara industri maju yang aktifitas ekonominya menghasilkan emisi karbon yang telah melebihi kuota yang ditentukan oleh Protocol Kyoto [5]. Kelebihan emisi karbon ini harus dikurangi, namun tentunya akan berpengaruh pula kepada laju pertumbuhan ekonomi negara mereka, suatu hal yang tidak mereka inginkan. Jalan keluar yang ditempuh adalah mencari kompensasi agar laju pertumbuhan ekonomi negara tidak terhenti, dengan cara membeli kelebihan karbon yang dimiliki oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia dimana terdapat simpanan karbon yang melimpah dari hutan Aceh ini. Gubernur Irwandi menangkap ini sebagai peluang sumber pendanaan yang besar dalam pengelolaan hutan Aceh, dengan menjaganya tetap lestari.
Kritik terhadap Aceh Green
Meskipun sekilas terlihat konsep Aceh Green dan implementasi REDD untuk hutan Aceh cukup menjanjikan, namun ternyata masih banyak pihak yang meragukannya. Bahkan mulai muncul kelompok-kelompok yang bersuara keras menentang program ini. Logika yang diusung oleh pihak ini adalah program REDD hanya sekedar tipuan dan merupakan bentuk penjajahan baru dari negara Barat. Hutan Aceh akan tergadaikan, demi kelangsungan pertumbuhan roda ekonomi negara maju. Mereka terus dengan leluasa memproduksi emisi karbon ke atmosfer bumi, sementara kita di Aceh dipaksa menjaga hutan-hutan tidak ditebang demi menyerap karbon dunia. Dana kompensasi dikuatiri tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas, malah akan terhenti pada pihak-pihak tertentu yang tidak layak menerimanya. Kedaulatan wilayah hutan juga menjadi lemah, ketika pihak negara maju yang akan memberi dana kompensasi meminta jaminan konservasi hutan dengan monitoring langsung ke wilayah-wilayah hutan kita. Tiada jaminan bahwa selain monitoring mereka tidak mencampuri sumber-sumber daya lainnya yang terkandung dalam hutan kita. Salahsatu contoh terbaru kasus penolakan ini disuarakan oleh Greenomics Indonesia, yang menemukan fakta bahwa Carbon Conservation Ltd yang ditunjuk oleh Gubernur Aceh sebagai broker kredit karbon hutan Aceh, telah menukar nilai uang karbon hutan Aceh menjadi bentuk saham dalam perusahaan tambang asing yang berinvestasi di Aceh [6]. Di saat masyarakat Aceh belum mendapatkan kompensasi apa-apa dari hutannya, ternyata pihak agen asing telah menuai keuntungan. Sungguh ironis, jika akhirnya masyarakat Aceh kembali gigit jari, dan pihak asing yang justru menikmati manfaat langsung upaya konservasi hutan Aceh.
Revitalisasi Aceh Green
Bagaimana pun, konsep Aceh Green yang fokus pada konservasi merupakan sebuah ide yang brilian. Namun perlu ada upaya kontemplasi dan penataan ulang yang cerdas dalam implementasi ideal konsep tersebut. Point penting pertama yang perlu diingat adalah niat yang ikhlas untuk kesejahteraan masyarakat. Apakah konsep yang diluncurkan benar-benar dilandasi tekad kuat demi kemaslahatan rakyat, atau ada udang di balik batu, yaitu untuk kepentingan diri dan kelompoknya semata. Jika tekad telah bulat dilandasi semangat kebersamaan insya Allah akan ada solusi untuk langkah berikutnya.
Kedua, penegakan hukum yang tegas. Tindakan ini perlu untuk menjaga program dapat berjalan dengan sempurna. Manakala terdapat pelanggaran terhadap program, perlu ada mekanisme yang jelas dan tegas dalam memberi tindakan hukum.
Ketiga, sosialisasi yang intens dan terarah kepada semua pihak yang berkepentingan, sehingga tujuan mulia program benar-benar dipahami oleh masyarakat. Contohnya sosialisasi pemahaman REDD, apakah murni sebagai mekanisme insentif kepada negara yang sukses menjaga hutannya demi paru-paru dunia, atau program kamuflase semata dari negara penghasil emisi karbon.
Keempat, adanya mekanisme yang memungkinkan partisipasi masyarakat dalam mengajukan ide-ide brilian berkenaan dengan konservasi hutan. Mekanisme ini dapat berupa dialog yang intens, seminar, perlombaan dan bentuk partisipasi lainnya. Keterlibatan pihak akademik di kampus-kampus juga menjadi bagian dari mekanisme ini. Mekanisme diharapkan mampu menjaring pemikiran segar, orisinal dan asli muatan lokal sehingga menambah nilai kemandirian program yang diusung.
Mencermati program utama Aceh Green dalam redesign, reforestasi dan reduksi deforestasi, berikut beberapa alternatif implementasi yang dapat menambah khazanah kandungan program:
1. Pariwisata Hutan; akan menjadi sumber devisa yang menjanjikan apabila dapat dikemas dengan profesional. Modal utama yang ‘dijual’ adalah kawasan hutan konservasi Leuser yang kaya dengan flora dan fauna langka dunia, seperti orang utan, gajah, harimau, bunga raflessia, plasma nutfah sebagai sumber keanekaragaman hayati.
2. Perkebunan Aren; potensi aren sangat menjanjikan dalam menghasilkan bahan bakar bio (biofuel). Aceh dapat menjadi pionir dalam mengangkat potensi tanaman asli hutan ini.
3. Energi Panas Bumi; eksplorasi panas bumi dapat dijadikan sebagai sumber energi abadi untuk memproduksi gas hidrogen secara ramah lingkungan. Hidrogen diramalkan akan menjadi energi masa depan dunia, jika dapat diproduksi dengan menggunakan sumber energi terbarukan maka statusnya akan benar-benar menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan.
Sumber pendanaan dari implementasi murni REDD dengan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat lokal dalam pelaksanaannya, akan benar-benar mewujudkan cita-cita yang diemban oleh konsep Aceh Green, yaitu sejahtera tanpa merusak hutan. Akhirnya, konsep Aceh Green diharap benar-benar menjadi milik rakyat Aceh, sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin Aceh kelak akan tetap menjalankan program ini secara berkesinambungan.
Kuala Lumpur, 14 Juli 2011
Penulis: Dandi Bachtiar, email: dandibachtiar@gmail.com
Referensi:
1. Saodah Lubis, Hariadi Kartodihardjo, Wiratno, Stepi Hakim, Taqwaddin, dan Yusdinur Usman, Sebuah Pemikiran Kebijakan Pengelolaan Hutan Aceh, BRR-NAD-Nias, Banda Aceh, 2008
2. Rodolphe De Koninck, Stephane Bernard, and Marc Girard, Aceh’s Forests as an Asset for Reconstruction?, Proceedings of First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Banda Aceh, 24-27 February 2007
3. Harian Waspada, 30 Desember 2009, Pemerintah Aceh Ubah Paradigma Pengelolaan Hutan
4. Aceh Green, Green Economic Development and Investment Strategy for Aceh, Indonesia, July 2008, http://www.aceh-eye.org/ data_files/english_format/economic/economic_analysis/eco_analysis_2008_07_00.pdf
5. Fajar Jasmin, REDD: Selamatkan Hutan Indonesia Demi Masa Depan Dunia,
http://iklimkarbon.com/2009/12/21/redd-selamatkan-hutan-indonesia-demi-masa-depan-dunia/
6. Harian Media Indonesia, 5 Mei 2011, Greenomics Menentang Hutan Aceh Jadi Aset Transaksi.